Semua yang telah berlalu
t’lah membuatku mengingkari janjiku sendiri
janji yang membawa penyesalan
t’lah membuatmu kecewa
t’lah membuatmu berpaling dari hati ini
Dalam tidur setiap malamku
terlelap dalam gelap berharap mendapat ketenangan
ketenangan dan ketentraman yang kuharap
hanya impian semata
Karena ketenangan dan ketentraman
berada dalam dirimu
Maafkan aku atas semua kebodohanku
maafkan aku atas penyia-nyiaan ku terhadapmu
Sugguh ke mencintai, menyayangi dan mengasihi dirimu
Selasa, 25 Januari 2011
Senin, 24 Januari 2011
KOMERSIALISASI PENDIDIKAN
Masalah pendidikan kembali marak dibicarakan. Berbagai media massa mengangkat seputar rencana privatisasi pendidikan yang dilontarkan Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, baru-baru ini. Sebagaimana diketahui, beberapa lalu Mendiknas telah menyampaikan rancangan Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dari sekian rancangan yang disampaikan, Pasal 53 (1) UU N0 20/2003 yang dibuat dua tahun lalu kembali menuai kontroversi.
Disebutkan pada pasal itu, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Selain itu, badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Perincian pada pasal itu sampai sekarang diturunkan dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang masih dalam penggodokan. (Kompas, 11/05)
Kontroversi tak terelakkan lagi ketika rancangan itu dicium oleh banyak pengamat sebagai bentuk lepas tanggung jawab pemerintah terhadap dunia pendidikan. Pengamat pendidikan, Darmaningtyas (Kompas, 11/05), misalnya, menganggap jiwa dari rancangan tersebut, antara lain mendirikan sekolah, terutama terkait dalam pembiayaan pendidikan. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan.
Komersialisasi Menuju Korupsi
Melihat hal itu, kita banyak mengkhawatirkan bahwa komersialisasi pendidikan akan semakin menguat, sementara hak mendapatkan ilmu pengetahuan bagi rakyat kalangan bawah akan semakin sulit dicapai. Pengalaman masa lampau, ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa, pendidikan kita cenderung dimarginalkan. Pemerintah waktu itu lebih suka memberikan subsidi berjumlah besar kepada institusi militer ketimbang institusi pendidikan. Kini, pemerintahan di era reformasi justru semakin terjebak pada lingkaran setan komersialisasi dan korupsi. Belum lagi masa krisis ekonomi terlewati, masyarakat masih dibebani oleh biaya pendidikan yang semakin melangit. Sekolah-sekolah semakin mahal biayanya.
Pasca munculnya UU Otonomi Daerah yang di dalamnya memuat kebijakan otonomi kampus, berbagai perguruan tinggi kemudian tidak lagi disubsidi oleh pemerintah. Ada empat perguruan tinggi, yakni UI, ITB, UGM, dan IPB yang terkena kebijakan itu. Dengan model pengelolaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN), keempat perguruan tinggi itu tidak lagi memperoleh subsidi. Dan, karenanya, para rektor dituntut untuk mencari biaya sendiri dengan caranya masing-masing.
Dari konteks inilah, kemudian, otak para pengelola pendidikan dituntut kreatif untuk menghasilkan sumber-sumber dana. Beberapa kreativitas itu adalah menjual beberapa aset, menodong para alumni – terutama para alumni yang pernah mendapat beasiswa dari perguruan tinggi dalam menimba ilmu. Hal yang paling menarik untuk dibicarakan bahwa dalam rangka menghasilkan biaya tersebut, pihak rektorat tak segan-segan menawarkan bangku kuliahnya dengan tarif yang tinggi.
Komersialisasi bangku kuliah dengan tarif antara Rp 15 hingga Rp 250 juta sebagai syarat untuk bisa masuk sebagai mahasiswa, sudah terang-terangan. Sekalipun beberapa rektor menepis anggapan adanya komersialisasi, namun fakta telah menunjukkan banyak kasus. Calon mahasiswa yang berani mengisi formulir dengan biaya sumbangan uang gedung di atas rata-rata, dipastikan diterima menjadi mahasiswa. Dan, mereka yang mencantumkan sumbangan di bawah perhitungan finansial perguruan tinggi, tak akan bisa masuk kuliah.
Persoalannya, bukan soal privatisasi atau nasionalisasi pendidikan. Di negara yang menganut ideologi kapitalis ataupun sosialis, dunia pendidikan tetap mendapatkan perhatian serius pemerintah dengan dukungan finansial dan sistem pengelolaan yang terjamin kualitasnya. Menjadi aneh jika hanya karena alasan era globalisasi, pasar bebas, dunia pendidikan lalu dicampakkan dalam ketidakpastian. Bagaimana pun Indonesia telah memiliki sejarah yang memalukan dalam hal pengelolaan pendidikan.
Dibandingkan dengan Vietnam, misalnya, Indonesia sudah tertinggal, apalagi dengan bekas “muridnya,” Malaysia. Untuk alokasi anggaran pendidikan pada tahun 1980, 1,2% dari PDB, turun menjadi 1,0% pada 1990, dan pada 2000 turun lagi menjadi 0,8%. Pada 2003, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan tinggi sebesar Rp 13 triliun, hanya sekitar 7% dari APBN atau 0,8% dari PDB. Pada kurun waktu yang sama, negara jiran Malaysia justru menyediakan anggaran yang lebih besar 5,2% dari PDB pada 1980, kemudian meningkat menjadi 5,5% pada 1990, dan 5,8% pada 2000.
Kenyataan pendidikan kita mahal, bukan tanpa alasan, sekalipun berbagai pihak, terutama kalangan rektorat dan Mendiknas terus membangun alasan-alasan yang dirasionalkan. Jika pemerintah tidak pernah merealisasikan pendidikan murah dan berkualitas, jangan salahkan jika slogan kapitalisasi maupun komersialisasi pendidikan menjadi isu yang siap digulirkan kalangan kritikus untuk menyalahkan pemerintah.
Persoalan terkait yang tak kalah peliknya dalam dunia pendidikan, akhir-akhir ini adalah munculnya isu dugaan korupsi di lingkungan Depdiknas. Dalam beberapa hari ini wacana korupsi dalam dunia pendidikan bahkan terus mengemuka di sejumlah media massa. The Jakarta Post, misalnya, tanggal 1 Oktober 2004, memberitakan temuan Indonesia Corruption Watch atas korupsi di sejumlah sekolah, di Jakarta.
Pihak sekolah memungut biaya pendidikan yang mahal dari calon siswa atau siswanya dengan alasan untuk biaya seragam, penggandaan buku yang harus dibeli di sekolah, uang “ini-itu”, dan sebagainya. Bank Dunia (World Bank) juga menduga kuat adanya korupsi senilai 43 juta dolar dalam proyek penggandaan buku. Dalam berita itu dituliskan, pihak Depdiknas berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan (penerbitan) buku dalam mark up penerbitan buku.
Ilmu Pengetahuan Kunci
Persoalan di atas sebenarnya merupakan masalah klasik namun faktanya terus menjadi beban bangsa ini. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mau tak mau harus bersikeras untuk melawan kejahatan-kejahatan, baik komersialisasi maupun tantangan peningkatan kualitas pendidikan kita di masa depan. Di masa-masa kampanye pemilihan presiden 2004 lalu, Susilo Bambang Yudhoyono sudah melontarkan isu pendidikan sebagai salah satu prioritas utama untuk ditangani.
Sayangnya, dalam membenahi dunia pendidikan Yudhoyono dan Yusuf Kalla tampaknya belum menunjukkan komitmennya yang mengarah pada isu konkret, seperti peningkatan mutu dan perbaikan nasib guru.
Bagaimana pun dunia pendidikan harus benar-benar diperhatikan secara serius. Pemerintah tidak bisa serampangan memutuskan kebijakan tanpa menimbang bahaya-bahaya akibat praktik komersialisasi di dunia pendidikan. Sebab, ilmu pengetahuan yang diperoleh lewat dunia pendidikan adalah kunci dasar pembangunan umat manusia dalam setiap bangsa. Rasanya tak perlu terus-menerus ditegaskan mengapa masyarakat modern harus menjalani kehidupan bermartabat dengan pilar dasar ilmu pengetahuan yang berkualitas. Berbicara mengenai masalah pendidikan, institusi pendidikan, sekolah dan perguruan tinggi menjadi wacana sentral.
Jika masyarakat ingin memperoleh ilmu pengetahuan yang berkualitas, bermutu dan bisa dijadikan bekal kompetisi dalam berbagai persaingan, maka pengelolaan institusi pendidikan harus menjadi prioritas utama. Selain wajib memberikan biaya dan fasilitas yang menunjang bagi pengembangan mutu pendidikan, pemerintah juga wajib mengarahkan transformasi kemajuan pengelolaan pendidikan secara evaluatif dan konstruktif.
Masalah pendidikan kembali marak dibicarakan. Berbagai media massa mengangkat seputar rencana privatisasi pendidikan yang dilontarkan Menteri Pendidikan Nasional, Bambang Sudibyo, baru-baru ini. Sebagaimana diketahui, beberapa lalu Mendiknas telah menyampaikan rancangan Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dari sekian rancangan yang disampaikan, Pasal 53 (1) UU N0 20/2003 yang dibuat dua tahun lalu kembali menuai kontroversi.
Disebutkan pada pasal itu, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Selain itu, badan hukum pendidikan sebagaimana dimaksud berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan. Perincian pada pasal itu sampai sekarang diturunkan dalam RUU Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang masih dalam penggodokan. (Kompas, 11/05)
Kontroversi tak terelakkan lagi ketika rancangan itu dicium oleh banyak pengamat sebagai bentuk lepas tanggung jawab pemerintah terhadap dunia pendidikan. Pengamat pendidikan, Darmaningtyas (Kompas, 11/05), misalnya, menganggap jiwa dari rancangan tersebut, antara lain mendirikan sekolah, terutama terkait dalam pembiayaan pendidikan. Seperti halnya perusahaan, sekolah dibebaskan mencari modal untuk diinvestasikan dalam operasional pendidikan.
Komersialisasi Menuju Korupsi
Melihat hal itu, kita banyak mengkhawatirkan bahwa komersialisasi pendidikan akan semakin menguat, sementara hak mendapatkan ilmu pengetahuan bagi rakyat kalangan bawah akan semakin sulit dicapai. Pengalaman masa lampau, ketika pemerintahan Orde Baru berkuasa, pendidikan kita cenderung dimarginalkan. Pemerintah waktu itu lebih suka memberikan subsidi berjumlah besar kepada institusi militer ketimbang institusi pendidikan. Kini, pemerintahan di era reformasi justru semakin terjebak pada lingkaran setan komersialisasi dan korupsi. Belum lagi masa krisis ekonomi terlewati, masyarakat masih dibebani oleh biaya pendidikan yang semakin melangit. Sekolah-sekolah semakin mahal biayanya.
Pasca munculnya UU Otonomi Daerah yang di dalamnya memuat kebijakan otonomi kampus, berbagai perguruan tinggi kemudian tidak lagi disubsidi oleh pemerintah. Ada empat perguruan tinggi, yakni UI, ITB, UGM, dan IPB yang terkena kebijakan itu. Dengan model pengelolaan Badan Hukum Milik Negara (BHMN), keempat perguruan tinggi itu tidak lagi memperoleh subsidi. Dan, karenanya, para rektor dituntut untuk mencari biaya sendiri dengan caranya masing-masing.
Dari konteks inilah, kemudian, otak para pengelola pendidikan dituntut kreatif untuk menghasilkan sumber-sumber dana. Beberapa kreativitas itu adalah menjual beberapa aset, menodong para alumni – terutama para alumni yang pernah mendapat beasiswa dari perguruan tinggi dalam menimba ilmu. Hal yang paling menarik untuk dibicarakan bahwa dalam rangka menghasilkan biaya tersebut, pihak rektorat tak segan-segan menawarkan bangku kuliahnya dengan tarif yang tinggi.
Komersialisasi bangku kuliah dengan tarif antara Rp 15 hingga Rp 250 juta sebagai syarat untuk bisa masuk sebagai mahasiswa, sudah terang-terangan. Sekalipun beberapa rektor menepis anggapan adanya komersialisasi, namun fakta telah menunjukkan banyak kasus. Calon mahasiswa yang berani mengisi formulir dengan biaya sumbangan uang gedung di atas rata-rata, dipastikan diterima menjadi mahasiswa. Dan, mereka yang mencantumkan sumbangan di bawah perhitungan finansial perguruan tinggi, tak akan bisa masuk kuliah.
Persoalannya, bukan soal privatisasi atau nasionalisasi pendidikan. Di negara yang menganut ideologi kapitalis ataupun sosialis, dunia pendidikan tetap mendapatkan perhatian serius pemerintah dengan dukungan finansial dan sistem pengelolaan yang terjamin kualitasnya. Menjadi aneh jika hanya karena alasan era globalisasi, pasar bebas, dunia pendidikan lalu dicampakkan dalam ketidakpastian. Bagaimana pun Indonesia telah memiliki sejarah yang memalukan dalam hal pengelolaan pendidikan.
Dibandingkan dengan Vietnam, misalnya, Indonesia sudah tertinggal, apalagi dengan bekas “muridnya,” Malaysia. Untuk alokasi anggaran pendidikan pada tahun 1980, 1,2% dari PDB, turun menjadi 1,0% pada 1990, dan pada 2000 turun lagi menjadi 0,8%. Pada 2003, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan tinggi sebesar Rp 13 triliun, hanya sekitar 7% dari APBN atau 0,8% dari PDB. Pada kurun waktu yang sama, negara jiran Malaysia justru menyediakan anggaran yang lebih besar 5,2% dari PDB pada 1980, kemudian meningkat menjadi 5,5% pada 1990, dan 5,8% pada 2000.
Kenyataan pendidikan kita mahal, bukan tanpa alasan, sekalipun berbagai pihak, terutama kalangan rektorat dan Mendiknas terus membangun alasan-alasan yang dirasionalkan. Jika pemerintah tidak pernah merealisasikan pendidikan murah dan berkualitas, jangan salahkan jika slogan kapitalisasi maupun komersialisasi pendidikan menjadi isu yang siap digulirkan kalangan kritikus untuk menyalahkan pemerintah.
Persoalan terkait yang tak kalah peliknya dalam dunia pendidikan, akhir-akhir ini adalah munculnya isu dugaan korupsi di lingkungan Depdiknas. Dalam beberapa hari ini wacana korupsi dalam dunia pendidikan bahkan terus mengemuka di sejumlah media massa. The Jakarta Post, misalnya, tanggal 1 Oktober 2004, memberitakan temuan Indonesia Corruption Watch atas korupsi di sejumlah sekolah, di Jakarta.
Pihak sekolah memungut biaya pendidikan yang mahal dari calon siswa atau siswanya dengan alasan untuk biaya seragam, penggandaan buku yang harus dibeli di sekolah, uang “ini-itu”, dan sebagainya. Bank Dunia (World Bank) juga menduga kuat adanya korupsi senilai 43 juta dolar dalam proyek penggandaan buku. Dalam berita itu dituliskan, pihak Depdiknas berkolaborasi dengan perusahaan-perusahaan (penerbitan) buku dalam mark up penerbitan buku.
Ilmu Pengetahuan Kunci
Persoalan di atas sebenarnya merupakan masalah klasik namun faktanya terus menjadi beban bangsa ini. Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mau tak mau harus bersikeras untuk melawan kejahatan-kejahatan, baik komersialisasi maupun tantangan peningkatan kualitas pendidikan kita di masa depan. Di masa-masa kampanye pemilihan presiden 2004 lalu, Susilo Bambang Yudhoyono sudah melontarkan isu pendidikan sebagai salah satu prioritas utama untuk ditangani.
Sayangnya, dalam membenahi dunia pendidikan Yudhoyono dan Yusuf Kalla tampaknya belum menunjukkan komitmennya yang mengarah pada isu konkret, seperti peningkatan mutu dan perbaikan nasib guru.
Bagaimana pun dunia pendidikan harus benar-benar diperhatikan secara serius. Pemerintah tidak bisa serampangan memutuskan kebijakan tanpa menimbang bahaya-bahaya akibat praktik komersialisasi di dunia pendidikan. Sebab, ilmu pengetahuan yang diperoleh lewat dunia pendidikan adalah kunci dasar pembangunan umat manusia dalam setiap bangsa. Rasanya tak perlu terus-menerus ditegaskan mengapa masyarakat modern harus menjalani kehidupan bermartabat dengan pilar dasar ilmu pengetahuan yang berkualitas. Berbicara mengenai masalah pendidikan, institusi pendidikan, sekolah dan perguruan tinggi menjadi wacana sentral.
Jika masyarakat ingin memperoleh ilmu pengetahuan yang berkualitas, bermutu dan bisa dijadikan bekal kompetisi dalam berbagai persaingan, maka pengelolaan institusi pendidikan harus menjadi prioritas utama. Selain wajib memberikan biaya dan fasilitas yang menunjang bagi pengembangan mutu pendidikan, pemerintah juga wajib mengarahkan transformasi kemajuan pengelolaan pendidikan secara evaluatif dan konstruktif.
Rabu, 19 Januari 2011
Langganan:
Postingan (Atom)